Judul tulisan ini barangkali menyisakan satu pertanyaan besar di
benak banyak orang; mungkinkah ada orang yang mau berlomba-lomba dalam
mengerjakan kebaikan dan ketaatan? Bukankah sesuatu yang berlomba-lomba
dikejar dan diminati kebanyakan orang adalah sesuatu yang ‘menggiurkan’
menurut pandangan mereka, misalnya harta benda, makanan lezat atau
kedudukan duniawi?
Jawabanya, hal ini mungkin dan bahkan benar-benar nyata adanya. Coba amati dengan seksama firman Allah berikut:
{إِنَّ
الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ
بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا
يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena kepada Rabb mereka
(Allah ). Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka.
Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu
apapun). Dan orang-orang yang memberikan (bersedekah) apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang (yang selalu) bersegera dan berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan” (QS al-Mu’minuun: 57-61).
Juga firman-Nya:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka (para Nabi dan Rasul ) adalah orang-orang yang selalu bersegera (berlomba-lomba) dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan
mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS
al-Anbiyaa’: 90).
Merekalah orang-orang yang memiliki iman yang sempurna, sehingga
keindahan iman benar-benar menghiasi hati mereka dan menjadikan mereka
selalu berusaha untuk memperindah hiasan iman tersebut dengan amal-amal
kebaikan. Sebagaimana Allah menyifati sempurnanya keindahan iman yang
dimiliki oleh para Shahabat y dalam firman-Nya:
{وَلَكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ
وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ
هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta
kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Artinya : Allah Dialah memberikan taufik kepadamu sehingga kamu
mencintai keimanan, serta Dia menjadikan rasa cinta kepada-Nya indah di
dalam hatimu dan paling kamu cintai melebihi segala sesuatu yang ada di
dunia ini, maka dengan itu kamu semakin bersemangat melakukan segala
perbuatan yang menumbuhkan dan menyempurnakan imanmu kepada-Nya.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah menjadikan hamba-hamba-Nya yang
beriman cinta kepada keimanan, yaitu (dengan) menumbuhkan dalam hati
mereka rasa cinta kepada-Nya…Maka dalam ayat ini Allah mejelaskan bahwa
Dia menumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman dua hal;
rasa cinta kepada-Nya dan indahnya rasa cinta kepada-Nya, yang ini
semakin memotivasi (mereka) untuk semakin mencintai-Nya, serta Dia
menumbuhkan di dalam hati mereka kebencian terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan keimanan, yaitu kekafiran, kefasikan dan perbuatan
maksiat…”.
Inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam permohonan doa beliau :
« اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman,
serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat
petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”.
Ibadah dan ketaatan kepada Allah , kenikmatan tertinggi yang pantas untuk dikejar
Allah berfirman:
{مَنْ
عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS ِan-Nahl:97).
Dalam ayat ini, Allah menjanjikan bahwa amal kebaikan yang sesuai
dengan petunjuk-Nya dan petunjuk Rasul-Nya dan keimanan yang benar
dalam hati seorang hamba merupakan sebab untuk meraih kehidupan yang
penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan di dunia, serta balasan yang
lebih baik di akhirat kelak.
Oleh karena itu, karunia Allah dengan menurunkan petunjuk kebaikan
dalam agama Islam ini merupakan anugerah dan kenikmatan terbesar yang
semestinya menjadi kebanggaan dan sebab kebahagiaan besar bagi umat
Islam. Allah berfirman:
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi)
yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang
Allah berikan kepada mereka, dan Dia menyatakan bahwa anugerah
dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang
berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allah” dalam
ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”,
sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya
(keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Kenikmatan (yang berupa)
agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat
(jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang
hanya sementara dan akan hilang”.
Maka dengan ini, kita memahami, mengapa Allah dalam banyak ayat
al-Qur’an selalu memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk
bersegera dan berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan amal
shaleh? Jawabnya tentu karena semua itu merupakan karunia Allah
terbesar yang pantas untuk dikejar.
Allah berfirman:
{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan
dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan: 133).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam melakukan) kebaikan” (QS al-Baqarah: 148 dan al-Maidah: 48).
Juga dalam firman-Nya:
{وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya)” (QS al-Muthaffifiin: 26).
Surga dunia yang hakiki
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada
jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia
ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”.
Makna “surga di dunia” ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah
(pengetahuan yang sempurna) kepada Allah (dengan memahami nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar) serta selalu berzikir
kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika
mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya
dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan
bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah
satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak
seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang
sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah .
Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini lebih rinci, beliau berkata:
“Cinta kepada Allah , mengenal-Nya (dengan memahami kandungan
nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna),
selalu berzikir kepada-Nya, merasa tenang dan damai (ketika mendekatkan
diri) kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam mencintai, takut, berharap,
berserah diri dan mendekatkan diri (kepada-Nya), dengan menjadikan semua
itu satu-satunya yang menguasai pikiran, tekad dan keinginan seorang
hamba, inilah surga dunia (yang sebenarnya) dan kenikmatan yang tiada
taranya (jika dibandingkan dengan) kenikmatan (dunia). Inilah penyejuk
hati hamba-hamba yang mencintai (Allah ) dan (kebahagiaan) hidup
orang-orang yang mengenal-Nya”.
Inilah makna ucapan yang dinukil dari beberapa ulama salaf, seperti
ucapan salah seorang dari mereka: “Sungguh kasihan orang-orang yang
cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal
mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka
ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”,
Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika
mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta
merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”.
Ulama salaf yang lain berkata: “Seandainya para raja dan pangeran
mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan mencintai Allah
dan mendekatkan diri kepada-Nya), niscaya mereka akan berusaha merebut
kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”.
Gambaran yang disebutkan di atas tidaklah berlebihan dan
mengherankan, karena dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah
sendiri, iman, cinta dan ibadah kepada Allah dinyatakan sebagai
sesuatu yang sangat indah dan nikmat. Bahkan dalam ayat yang kami
sebutkan di awal tulisan ini, iman yang sempurna di dalam hati para
Shahabat Rasulullah digambarkan seperti perhiasan yang sangat indah.
Coba renungkan hadits Rasulullah berikut ini: Dari Anas bin Malik t
bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang
memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman):
menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain
keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa
benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh
Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”.
Arti “manisnya iman” dalam hadits ini adalah merasakan kenikmatan
(ketika melaksanakan) ketaatan (kepada Allah ), tabah menghadapi segala
kesulitan dalam agama dan lebih mengutamakan semua itu di atas semua
perhiasan dunia.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.
Imam an-Nawawi – semoga Allah merahmatinya – ketika menjelaskan
makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain
(ridha) Allah , dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak
melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang
dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang
memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam
hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman
tersebut (secara nyata)”.
Oleh karena itulah, Rasulullah menggambarkan keindahan shalat, yang
merupakan ibadah dan saat berjumpa hamba-hamba Allah yang beriman
dengan kekasih mereka yang maha mulia, Allah , sebagai kebahagiaan hati
dan keindahan jiwa yang tiada taranya. Dari Anas bin Malik t bahwa
Rasulullah bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda kepada Bilal t:
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar